Senyum Terakhir


smp 2 porong yang tenggelam oleh lumpur lapindo

smp 2 porong yang tenggelam oleh lumpur lapindo

Tet…tet…tet…

Bel pulang pulang sekolah telah berbunyi semua anak mengemasi peralatannya. Lalu duduk rapi menunggu guru mengucapkan kata–kata terakhirnya setelah 2 jam lamanya ceramah tanpa lelah. Detik-detik yang di tunggu telah tiba.

“Sekian pelajaran untuk hari ini pesan saya kerjakan tugasnya dan hati–hati dijalan. Wassalamualaikum!”

Waalaikum salam!” jawab semua serentak seperti paduan suara. Sang guru telah hilang dari padangan. Seperti orang yang takut ketinggalan kereta, aku dan yang lain berebut menuju pintu.

Kulihat pintu gerbang telah dibuka oleh Pak Satpam yang bertubuh kecil dan berkulit hitam. Tapi jangan salah, satpam disekolah kami tidak seperti satpam disekolah lain. Namanya Pak Sukaemi. Dia selalu melempar senyum pada semua siswa. Sekalipun, dia tak pernah memarahi siswa yang datang terlambat. Aku misalnya, suatu hari aku datang terlambat. Pintu gerbang telah ditutup. Sepi, hanya ada Pak Satpam yang sedang duduk santai di depan posnya. Aku memberanikan diri untuk berbicara.

“ Pak! pak! tolong bukain dong Pak!”

“Sebentar ya dek! saya lihat kedalam dulu!” Ku lihat Pak Sukaemi berjalan menuju kantor.

“ Mau ngapain yah?” ucapku pelan. Dag dig dug jantungku, takut jika pak Sur keluar lalu menghukumku. Sambil berlari kecil ia menuju gerbang dan membuka pintu gerbang.

“ Makasih pak!”

“ Iya, tapi cepetan masuk kelas, keburu Pak Sur datang !”

Aku berlari menuju kelas, sesekali aku menoleh kebelakang ku lihat pak sukaemi cepat-cepat menutup pintu gerbang. Nama lengkapnya pak Suryawan. Dia adalah guru biolgiku. Badannya yang tinggi besar berkulit putih. Tapi galaknya minta ampun. Sebenarnya bukan galak sih, tapi tegas. Beliau paling tidak suka dengan anak yang terlambat.

Caranya menerangkan sungguh unik. Tak terlalu serius tapi anak di haruskan untuk memahami apa yang di sampaikannya. Beliau selalu menyelipkan humor setiap menerangkan sehingga kami tak terlalu tertekan untuk menyerap apa yang disampaikan. Bisa di katakan, metode yang ia gunakan ialah. “ Belajar Sambil Bermain “. Itu yang membuatku sangat menyukai pelajaran biologi hingga saat ini.

Di luar gerbang sudah berjejer para penjual yang mengais rizki dari saku para siswa. Ada penjual aksesoris yang menjual barangnya dengan cara serbu alias serba seribu. Tak heran banyak gadis yang berkerumun di situ. Entah untuk membeli atau sekedar untuk melihat. Ada penjual foto-foto artis, mulai dari artis Indonesia sendiri hingga artis Luar dari Korea, Inggris, etc. poster berbagai tulisan dan gambar juga dijual disana. Tapi kebanyakan pembelinya ialah cowok. Dan ada satu lagi penjual. Kami sering memanggilnya Pak Pentol karena ia menjual pentol. Pentolnya sangat lazizz. Hanya dengan mengeluarkan kocek Rp 500; kita bisa menikmati pentol berisi telur puyuh itu. Dia juga menjual es teh. Yang manisnya terbuat dari gula pasir asli. Gula pasir itu sengaja diletakkan dibagian depan agar pembeli tak khawatir untuk membeli es tehnya. Harganya yang juga Rp 500; .

Jika anda pernah lewat didepan SMPN 2 PORONG waktu bubar sekolah, anda pasti menyangka disitu ada pasar kaget. Gimana bukan pasar kaget namanya jika setiap pulang sekolah para pedagang sudah berbaris didepan pintu gerbang untuk mengais rizki. Karena uang jajan kami telah habis, kami hanya bisa cuci mata setelah itu kami mengayuh sepeda untuk pulang dan istirahat.

Sudah menjadi hal yang rutin, bahkan wajib setiap hari Senin kami melaksanakan upacara. Tapi rutinitas itu mulai hilang sejak Lumpur Lapindo mulai menggenangi halaman sekolah. Kira-kira bulan Mei 2006. waktu itu pelajaran Bahasa Daerah oleh Bu Etik.

“Eh, kamu kentut ya?”

cletuk salah satu temanku pada anak yang berambut keriting dan berbadan gemuk yang tak jauh dari tempat dudukku. Sontak semua tertawa termasuk aku. Dan terdengar

“Dasar! kalau mau kentut diluar dong!!! bau nih!” pelajaran menjadi kacau semua tertawa tak mempedulikan guru.

“Diam…diam anak-anak!!” lerai guru cantik yang mamakai selembar kain di kepalanya. Tapi aku dan yang lain tak mau berhenti. Bu Etik adalah guru yang sangat sabar. Suaranya yang kalem membuat anak-anak tak begitu takut dengan beliau. Mungkin aku termasuk !! he…he…he… Karena temanku yang di tuduh kentut tadi tak merasa melakukannya, dia berusaha membela diri.

Brakk…

karena tak sabar, meja harus mau menjadi korban kekesalannya.

“Siapa juga yang kentut!! aku nggak kentut! kamu kali? nuduh orang sembarangan!! kalau nggak percaya, sini cium pantat aku!”

lalu kembali duduk.

Semua kembali tertawa. Kacau…sangat kacau… Bu Etik keluar, aku clingak-clinguk di pintu. Kulihat anak-anak di kelas lain sudah pada keluar. Tapi, di kelasku masih sibuk mencari biang kentut.

“Woi, teman-teman ayo keluar! semua sudah diluar!”

teriakku disusul dengan anak-anak yang berlari menuju pintu. Aku kembali masuk mengajak gengku keluar.

Di kelasku sudah membentuk geng sendiri-sendiri. Tapi yang paling akrab dengan gengku ialah geng Ijo Lomoet alias jomblo-jomblo imut yang terdiri dari enam anak. Geng ijo ini di ketuai oleh Regina yang biasa dipanggil Egin. Dia adalah anak yang pintar. Lucunya, ia selalu membawa minyak tawon kesekolah. Badannya tinggi, putih, dan cantik. Ada Anik yang biasa dijuluki Mak Bongki. Ada Iis yang baik hati. Ada Intan yang rambutnya always dikepang. Ada Puput yang imut dan satu lagi, Alisa. Dia sangat lucu. Aku selalu memanggilnya Ola, dan memanggilku Lala. Dia sangat suka dengan warna kuning. Sifatnya seperti anak kecil dan selalu mencari gara-gara. Tapi karena kekanak-kanakannya itulah yang kini membuatku kangen.

Sementara gengku sendiri berjumlah lima orang. Tak ada ketua disini, semua sama. Ada aku sendiri yang cerewet, egois dan paling nggak suka liat anak yang menyerah sebelum mencoba. Rasanya pengen aku tonjok. Ada Ilfi anak yang paling pendiam diantara kami. Kalau kami ada masalah Ilfi lah tempat yang paling tepat untuk diajak curhat. Ada Yusi si centil yang cantik. Ada Vita yang selalu teliti dengan penampilannya. Rambut acakan sedikit saja udah kalang kabut ke kamar mandi. Satu lagi, ada Vivi si cewek tomboi yang begitu suka panjat tebing dan renang.

Tempat duduk didepan masing-masing kelas yang tepatnya berada di bawah pohon mangga sudah penuh. Aku dan yang lain memutuskan untuk bergabung dengan geng ijo lomoet di bawah pohon. Karena kehabisan tempat, aku jongkok, Vivi menyilangkan kakinya ditanah ala semedi. Sementara Yusi, Vita dan Ilfi bersandar di pohon mangga.

“Ada apa sih kok semua pada keluar?”

Tanya Alisa padaku membuka obrolan. Aku memegang lututnya karena dia duduk di kursi dan berkata

“Nggak tau La, waktu Bu Etik keluar tadi, aku kan ikut keluar, tapi hanya di pintu. Terus aku lihat semua udah ada diluar”

jawabku melihat sekeliling.

“Emm… tadi waktu aku berangkat sekolah, aku liat dijalan raya sebelah barat sudah banyak orang berkerumun” Regina ikut andil.

“Ngapain Gin, mereka berkerumun?”

“La itu yang nggak aku tau Vi!!”

Regina yang rumahnya di Jatirejo pun apa sebenarnya yang terjadi. “Pom bensin milik Pertamina bocor!” teriak salah satu anak, tapi aku tak tahu pasti siapa itu. Karena hanya suara yang terdengar dari jauh.

“Hah…pom bensin?

” Kami saling memandng

“Perasaan disana nggak ada pom bensin deh! ya nggak!”

ingat Ilfi sanbil mengetuk kepala besarnya. Vivi angkat bicara

“He’e, perasaan di sana gak ada pom bensin deh! memang ada tapi masih jauh kebarat setelah rel Kereta Api . Ya nggak Gin?”

“Hmm iya. Ya…ya..!” jawabnya manggut-manggut.

Akhirnya terdengar bel pulang sekolah.

Tet…tet…tet…

Anak-anak berhamburan lagi, ada yang langsung pulang. Ada juga yang kembali kekelas untuk mengambil tas, bahkan ada yang ke kantin untuk menghabiskan uang jajannya.

“Ris, kamu nggak mau liat kesana? Anak-anak banyak yang mau kesana!”. Tawar Regina padaku ketika di tempat parkir.

“Emm, ntar aku Tanya teman-teman dulu ya! kalau mereka mau…aku kesana. Tapi, kamu duluan aja ntar aku nyusul”.

“Ya udah, aku duluan ya!.” “He’e. hati-hati”. Aku menunggu teman-temanku ditempat parker sambil terus bertanya

“sebenarnya apa yang terjadi?bau menyengat apa ini?”. Tak lama kemudian, mereka datang.

“ Mbak, ikut anak-anak liat yuk ke pom bensin milik Pertamina?” Aku bertanya pada saudara sepupuku.

“Ayo, tapi mereka mau nggak” dia menunjuk tiga anak dibelakangnya. “Iya wes, ayo soalnya tadi aku juga diajak sama temanku”.

Sahut Zahroh penuh semangat. Akhirnya mereka mau. Kami pun menuju ke asal bau menyengat yang semula di duga kentutnya teman kami. Aku kesana sudah tidak bersama gengku, melainkan dengan teman-teman yang sedesa denganku.

Kami berjumlah lima orang, semuanya cewek. Sesampainya disana kami kaget. “Mbak, katanya pom bensinnya pertamina, kok malah disini sudah banyak orang?”

Tanyaku

“Lo kok pom bensinnya Pertamina sih! Nggak yo…orang tadi temanku bilang kalau disini itu ada semburan Lumpur”.

Ucap Zahroh mengernyitkan alis tebalnya. “Oh, berarti aku salah informasi dong!”

“Huh…dasar!” ucap mereka serentak sambil mendorongku hingga aku hampir terjatuh.

“Adoww…sakit tau!!” ucapku menjaga keseimbangan agar tak terjatuh.

Ku lihat cairan kental berwarna hitam yang telah meluber hingga ke jalan raya. Sawah-sawah disekitarnya pun juga sudah ada yang mulai terendam cairan hitam itu. Aku bertanya pada seseorang yang aku sendiri tak mengenal pasti siapa dia.

“Bu, ada apa ini?”

“Nggak tau nak! Kemarin Lumpur ini sudah menyembur tapi tidak sampai meluber di jalan seperti ini”.

“Ibu orang sini?” “Ya, tepatnya di Renokenongo”.

“Apa sebelumnya ibu tau ada pabrik gas disini?”

“saya tau juga baru kemarin ndok!”

Dari sini kita dapat mengetahui kalau ternyata warga setempat juga tak mengetahui adanya pabrik pengeboran itu. Menurut buku yang saya baca memang ada salah satu warga yang siring yang bercerita kalau ada sebuah perusahaan yang menawari untuk pembelian lahan di situ, dan kelak rencananya akan digunakan untuk drilling gas. Semua orang pasti akan mendaratkan tudingannya pada pihak Lapindo ketika melihat peristiwa ini.

Ya… itulah Lumpur Lapindo. Menurut informasi yang aku dapat, Lumpur ini mulai menyembur pada tanggal 29 Mei 2006 sekitar pukul 03.00. tepatnya pada hari Senin Setelah cukup puas melihat apa yang terjadi, kami memutuskan untuk pulang.

Pertanyaan yang ada di benakku kini sudah terjawab. Ini adalah bau LUMPUR LAPINDO.

Pulangnya kami memilih melewati luberan Lumpur karena daripada berbalik arah, jaraknya pun semakin jauh. Keesokan harinya pelajaran berlangsung seperti biasa. Waktu itu anak-anakkelas 3 sedang menanti pengumuman kelulusan ujian. Aku sendiri saat itu masih duduk di bangku kelas 2, tapi akan kenaikan sih!

Beberapa minggu kemudian tempat elajar kami harus di pindah di SDN 1 da 2  renokenongo karena Lumpur mulai memasuki halaman sekolahku. Hari itu hari minggu. Aku dan teman-temanku memutuskan untuk pergi ke sekolah karena kabar burung yang terdengar tembok pembatas sebelah timur sekolahku jebol karena tidak kuat lagi untuk membendung Lumpur jahat itu.

Betapa kagetnya Kami melihat terowongan yang menghubungkan desa renokenongo dengan sekolahku telah ditutup dengan sirtu.

“Lho kok ditutup?” tanyaku pada mereka walaupun aku tahu bahwa merekapun tak tak tahu jawabannya.

“Iya yah!” ujar makhil sembari menggigit jari telunjuknya.

“Ya sudah. Gimana kalau kita jalan tol” Usul mbak zahra pada kami. Kamipun setuju. Akhirnya kami menaiki jalan tol lalu turun tepat di samping sekolahku.

Hanya 5 menit perjalanan yang harus kami tempuh. Akhirnya kami sampai di Sekolah. Kulihat Di pagar Sekolah telah tertempel sebuah pengumuman “Bagi siswa-siswi SMPN 2 PORONG mulai hari kamis tempat belajar-mengajar di pindah di SDN 1 dan 2 Renokenongo jadwal belajar dimulai pukul 13:15-17:00”  aku sempat tak percaya kalau ini adalah awal dari ketidakpastian proses belajar mengajar bagi murid SMPN 2 PORONG.

“bagaimana kalau kita masuk?” usul Mabk Zahro pada kami. Kami pun setuju.

Yang kulihat air telah menggenangi lapangan sepak bola yang terletak di depan.

“Ya Alllah!” rintihku dalam hati.

Kepala sekolah, para staf dewan guru dan satpam terlihat sedang subuk membereskan dokumen mereka masing masing. Aku tak bias berbuat apa-apa. Mau membantu, tapi tak tahu apa yang harus aku Bantu.
Kami menyusuri setiap koridor sekolah.

“gimana kalau kita berpencar untuk melihat kondisi kelas kita masing-masing?” usul rida pada kami. Entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu, hingga aku tak bias berkata sepatah katapun. Akhirnya kami berpencar.

Terlihat sekali air yang telah menggenangi kelas ku. Aku tak bisa masuk ke dalamya. Setelah kurasa cukup melihat pemandangan mengerikan itu, aku kembali berkumpul dengan teman-teman ku.

“gimana keadaan kelas kalian?” tanyaku spontan ketika melihat mereka telah berkumpul terlebih dahulu.

“aku ggak bias masuk ke dalam kelas” ucap Mbak Zahro

Langkah kaki kami tak berhenti sampai di situ. Kami berjalan menuju kantin sekolah yang terletak di halaman belakang. Lagi-lagi terlihat kebingungan yang menyelimuti bapak dan ibu kantin. Mereka menyelamatkan barang dagangan yang masih bisa diselamatkan.
Kami tak bisa berbuata apa-apa. Hanya melihat,mendengar dan merasa apa yang sedang mereka rasakan.
Hari sudah siang. Kami memutuskan untuk pulang. Di depan pintu gerbang kami bertemu dengan pak san, salah satu pedagang di sekolahku. Aku memulai percakapan dengannya.

“Pak” Sapaku

“Iya nak! Mau pulang ta?”

“Iya pak, kami mau pulang. Tapi pak, saya mau nanya bentar!”

“Tanya apa nak?”

“Kira-kira kapan air lumpur itu masuk ke halaman sekolah?”

“Tadi malam. Sekitar pukul 4”

“Berarti bapak sudah dari tadi malam memindahkan barang-barang bapak?”

Ia menjawab dengan senyum simpulnya.

“Pak, kenapa air bercampur lumpur itu bisa masuk ke halaman sekolah? Padahal kan halaman depan sekolah masih belum tergenang lumpur?”

“Tembok pembatas dengan sawah jebol sehingga lumpur masuk dengan cepat.”

Dengan seksama kami mendengarkan penjelasan dari pak san.

“Ayo pulang yuk! Sudah siang!” Ajak Makhil

Kami semua mengangguk

“Ya sudah makasih yah pak san. Kami pamit pulang!” Pamit Mbak Zahra padanya

“Iya. Hati-hati”

Kamipun meninggalkan gerbang sekolah.

“Nggak nyangka yah! Heeh!Akhirnya sekolah kita akan terendam lumpur juga setelah sawah, pabrik dan rumah teman kita.” Kataku dengan nafas memburu karena menaiki jalan tol yang memang agak tinggi. Kira-kira 3 meteran dari tanah.

“Kenapa ngomong akhirnya?kamu senang kalau sekolah kita terendam lumpur?” Tanya mbak Zahra sinis.

“Ya nggak gitu!” Aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Memang aku akui aku salah dalam menggunakan kalimat.

“Eh, kasian juga yah, Pak San dan Pak Nari. Mereka harus gulung tikar.”

“Iya juga sih! Tapi mau gimana lagi. Mau netep juga nggak mungkin lah!”

“Trus mereka mau pindah kemana?”

“I don’t know!”

“Gaya mu lho ris!!” Ucap Mbak Zahro sambil menjitak kepalaku

“Sekarang kita mau kemana lagi?pulang?” Tanya Makhil pada kami.

“Gimana kalau kita liat Lumpur Lapindo?” Usul Mbak Zahro

“Kan ini sudah siang? Gimana kalau besok pagi aja?” Jawabku tak setuju.

“Ya mendingan sekarang!nggak riwa-riwi. Kalau besok, iya kalau kita semua bisa! Gimana?” Tanyanya lagi menyakinkanku

“Iya ris, enak sekarang. Mumpung kita masih disini” Aduh, aku makin merasa terpojok. Dengan muka manyun aku mengikuti langkah mereka.

Jaraknya memang tidak terlalu jauh dari sekolahku, jadi kami cepat sampai.

Ternyata sesampainya disana sudah banyak orang yang berjejer di atas tanggul. Panas bukan menjadi satu penghalang bagi mereka yang ingin menyaksikan semburan lumpur itu secara jelas.

Pemandangan Lumpur yang aku lihat dari jembatan layang di Siring dengan ibu sangat berbeda dengan yang sekarang ini aku lihat. Di atas tanggul ini aku dapat melihat dengan jelas bagaimana Lumpur itu menyembur ke permukaaan tanah. Sungguh terlihat kekuatan yang amat sangat hingga Lumpur itu bisa menyembur hingga ke permukaan tanah dan mengeluarkan Lumpur tiada hentinya tiap detik, menit, jam, hari, bahkan bulan. Entah, apakah semburan ini berubah pangkat menjadi tahun? Kita lihat saja nanti.

Asap tebal membumbung tinggi. Mengiringi semburan Lumpur tiada hentinya yang menenggelamkan semuanya tanpa pandang bulu. Jika ada asap pasti ada panas. Lumpur itu panas, hitam dan pekat. Aku hanya bisa berkata “Astaghfirullahhaladzim!ulah siapa ini? Bencana alam atau ulah tangan manusia yang tidak mau disalahkan?”

Tapi entah mengapa ada sedikit rasa senang ketika melihat Lumpur itu menyembur dengan hebatnya. “Waw!aku tidak pernah melihat yang seperti ini. Dengan dekat dan sangat jelas pula.”

Tapi apakah aku harus senang setiap melihat semburan Lumpur itu? Tidak! Aku tidak boleh egois. Coba lihat hamparan sawah, deretan pabrik yang kini sudah tenggelam akibat semburan Lumpur itu. Lihat rumah teman kita yang tenggelam, bahkan sekolah kita yang sudah lama berdiri dan melahirkan siwa-siswi yang berprestasi juga akn tenggelam. Bayangkan bagaimana perasaan mereka yang sawahnya tenggelam! Bibit padi yang telah mereka tanam harus terendam, mereka tak kan bisa menanam padi dan memanennya! Mereka juga pasti rugi, uang yang seadanya mereka jadikan modal untuk menanam padi. Tapi kali ini keberuntungan sedang tidak berpihak padanya.

Rumah teman kita yang tenggelam. Akan tinggal dimana mereka? Pasti mereka kan menumpang dirumah sanak saudara. Tapi apakah mereka merasa nyaman? Tidak! Mereka tak akan bisa bebas seperti ketika tinggal di rumah sendiri. Mau begini takut salah, takut tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di rumah sanak saudaranya itu. Yang biasanya tidur dengan bantal guling kini harus membagi bantal atau gulingnya sebagai sandaran kepala.

Sekolah kita yang tenggelam. Bagaimana nasib selanjutnya? Apakah kan terus menumpang dan menumpang hingga hari akhir? Tak mungkin pembangunan gedung sekolah yang baru akan sekesai dalam waktu yang singkat. Itu memerlukan waktu yang sangat lama. Itupun kalau pemerintah mau membangun gedung sekolah baru bagi kami. Tapi kalau tidak? Ugh!

Setelah cukup lama mata kami disajikan semburan Lumpur kami memutuskan untuk pulang. Matahari telah diubun-ubun. Panas be-ge-te. Ditengah terik matahari kami harus jalan kaki menuju rumah. Malas, capek dan haus campur jadi satu. Mau berhenti sejenak dan membeli minuman oke saja. Tapi masalahnya diantara kami tidak ada yang membawa uang. Bukannya tidak membawa tapi memang tidak mempunyai uang.

Alhamdulillah! Akhirnya sampai juga. Seketika aku langsung berlari ke kamar mandi meyiram muka dengan air dan minum sebanyak-banyaknya.

Esok harinya kami berangkat sekolah dengan menaiki sepeda gayung masing-masing. Memasuki gerbang sekolah, masuk pula malas dalam jiwaku. Malas belajar. Aku ingin tidur. Ini waktunya sebagian orang berhenti sejenak dari pekerjaanya. Hingga suatu hari, cuaca yang amat sangat panas mebuatku gerah plus emosi.

“Vi, kerumah kamu yuk!”

“Ngapain?”

“Aku pengen mandi!he..he..he!”

“Ya ok aja, tapi ajak yang lain juga ya!”

“Ok!”

Aku mengajak teman-temanku Yusi, Vivi, dan Vita ke rumah Ilvi karena aku ingin mandi. Untung saja rumahnya tidak begitu jauh dari sekolah. Bukan aku saja yang mandi, mereka semua ikut mandi. Lau kami sholat bergantian di rumahnya Ilvi. Ternyata lucu juga kalau sholat jama’ah begini. Giliran aku sholat, aku senyum-senyum sendiri karena digoda yusi. Bisa dibilang digoda nggak yah? Pasalnya Yusi hanya melihat aku dan tidak mengeluarkan suara taupun gerakan yang membuat aku tertwa.

Kini tinggal Ilvi yang belum sholat tapi,

Teettttt!

“Eh udah bel. Ayo masuk!cepetan!” Teriak Vita dari luar. Suaranya yang cempreng terdengar hingga dapur.

“Bentar, tinggal Ilvi.”

Aku mengintipnya dari jendela musholla. Tapi dia malah tersenyum. Anak aneh!

“Woi, cepetan!” Bisikku dari luar jendela.

Setelah semua selesai sholat, kami berlari menuju gerbang sekolah. Ternyata kami tidak telat. Guru Mapel belum datang.

Terlihat perbedaan yang jelas tentang proses belajar-mengajar dahulu dan kini. Dulu, sewaktu masih menempati gedung seolah sendiri, kami tidak diperbolehkan keluar gerbang, waktu jam belajar semua murid harus sudah berada dalam kelas. Guru juga tidak pernah telat masuk. Tapi kini berbeda. Siswa-siswi berkeliaran kesana-kemari, yang telat masuk kelas bukan hanya muridnya tapi juga gurunya. Bagaimana proses belajar mengajar bisa berjalan dengan baik jika kondisinya seperti ini? Aku juga sering bolos pada mata pelajaran tertentu karena malas. Lari ke kantin atau ke kamar mandi aku sudah terbebas dari pelajaran membosankan itu. Tempat dudukku sering berpindah, ke belakang, pojok dan dimanapun yang kurasa nyaman untuk memejamkan mataku ketika ngantuk. Aku juga sering membuat keonaran, membuat keributan di kelas saat pelajaran dimulai, tujuannya tak lain agar gurunya keluar. Dan tidak melanjutkan pelajaran. Dulu aku tidak seperti ini tapi kini apakah aku nakal? Jawab sendiri.

Aku selalu menantikan jarum jam cepat  berputar di angka 5 agar aku bisa cepat pulang.

Keinginanku terkabul, jarum jam kini telah berada pada angka 5.

Teeeettt

“Tuh kan! Sekarang waktunya pulang.”

Kami mengambil sepeda di tempat parkir dan mulai mengayuh sepeda dengan santai.  Di tengah perjalan tiba-tiba Mbak Mira berhenti.

Kutarik rem dengan kuat dan semua berhenti.

”Ada apa?”

”Gimana kalau kita ke tanggul?”

”Tanggul?”

”Iya! Kita kan belum pernah melihat kondisi sekolah kita!”

”Tapi aku sudah kok!” sahut ku

”Kalau kamu sudah yo nggak papa! Orang aku lho belum!” Jawabnya sinis

“Wes lah ris, ayo ikut aja! Sekarang kan beda dengan dulu?” Lerai Mbak Zahro.

Kami mengikuti Mbak Mira dari belakang. Sesampainya di tanggul, kami meletakkan sepeda lalu menaiki tanggul.

“Mbak Zah, perasaan waktu kita kesini belum setinggi ini deh!”

“Iya yah!”

Banyak sekali Warning! Di sepangjang tanggul. Diantaranya

“Awas longsor! Dilarang mendekati bibir tanggul!” Dan

“Dilarang menyalakan api disekitar tanggul” Dan masih banyak lagi.

“Sekolah kita hampir tak terlihat!”

”Lho! Itu kan tong yang di musholla? Kok ngambang?”

”Gerbang sekolah Hampir tak terlihat,”

”Sayang sekali yah! Padahal sekolah kita baru aja direnovasi, lab Bahasa yang hanya beberapa kali kita pakai,  kolam ikan di depan kelas masing-masing yang baru selesai dibuat dan masih banyak lagi.”

”Aku bener-bener nggak nyangka kalau sekolah kita akan berakhir seperti ini. Gimana nasib ikan-ikan di kolam yah? Mereka pasti mati terpanggang!”

”Koleksi novel perpus yang bagus-bagus selamat nggak yah?”

”Makanan kantin Pak Nari dan Pak San yang tidak dapat kita temukan lagi.”

Kenang mereka sanbil melempar kerikil-kerikil kecil ke kolam Lumpur.

”Aku benci Lumpur Lapindo!” Teriakku membuat semua mata tertuju pada ku.

”Daris!” sentak mereka.

”Ups!”

Tak terasa adzan magrib berkumandang. Kami berpandangan satu sama lain.

”Ada yang belum sholat ashar nggak?” Tanya Rida.

“Udah dong!”

“Pulang yuk!” Ajak ku.

“Ayok!”

Tapi Mbak Mira Masih diam ditempat

“Mbak Mira nggak pulang?”

“Nggak! Nginep!”

~~~~“““~~~~~

“Siapa yang kentut?”

“Kamu mungkin!”

“Enak aja. Aduh bau banget!”

“Lumpur Lapindo!”  Ucap kami serentak

Beberapa minggu kemudian, tempat belajar-mengajar kami dipindah karena air bercampur Lumpur mulai memasuki halaman belakang gedung SDN 1 dan 2 Renokenongo. Kali ini semakin jauh.

”Aduh!”  Rintihku dalam hati.

”Semakin jauh tempat aku menuntut ilmu, semakin jauh pula aku mewujudkan cita-citaku karena lagi-lagi MALAS”

Ngomong-ngomong soal cita-cita, aku masih belum tahu pasti apa cita-citaku. Banyak sekali. Waktu kecil dulu aku bercita-cita menjadi Dokter gigi, kelas 4 SD aku bercita-cita menjadi pilot. Tapi kini entah!

Tempat belajar-mengajar kami kini berada di SMPN 1 PORONG. Aku dan teman-teman harus mengayuh sepeda hingga 3 km jauhnya. Banyangkan saja, terik matahari yang membakar kulit, udara panas dan debu-debu yang berterbangan harus kami rasakan setiap hari. Kami harus berangkat lebih awal agar tidak telat. Kami berangkat pukul 12:30 dan sampai disana pukul 13:15.

”Mana Rida?” tanyaku pada Mbak Zahro karena hanya Rida yang belum ada.

”Mungkin dalam perjalan kesini” Jawabnya pelan.

”Hei semua, sory telat. Tadi aku nunggu ibuk pulang dari sawah dulu solanya aku belum dikasi sangu” Cerocosnya begiti tiba

”Berangkat yuk!” Ajak Mbak Mira.

Kami mulai mengayuh sepeda.

Kreek! Kreek!Braak!

Suara sepeda kami ketika melewati jalanan rusak. ”ha…ha..ha!” Serentak tawa kami membahana di sepanjang jalan.

Sesampainya di sekolah kami menuntun sepeda menuju tempat parkir. Kini parkir sepeda saja harus membayar. Dulu di sekolahku parkir gratis. Biarpun hanya membayar Rp. 500 sudah sangat berat bagiku karena harus mengurangi uang jajanku. Aku diberi uang jajan Rp. 2000 dan jika dikurangi untuk membayar parkir, uang jajanku tersisa Rp. 1500. Apa yang aku lakukan dengan uang segini? Miniman saja harganya Rp.1000 dan sisanya aku pakai untuk membeli makanan ringan. Pas, dan sangat pas.  Terkadang aku harus mengutang pada Ilvi ataupun yang lain. Tapi aku bersyukur aku masih diberi kedua orang tuaku masih bisa membiayai sekolahku daripada anak dipinggir jalan yang meinta-minta untuk biaya sekolah.

Setelah memarkir sepeda kami masuk dan berpisah menuju kelas masing-masing.

”Duluan yah!” Pamitku pada mereka.

”Dey!” Sahut mereka serentak.

”Oh tuhan! Pak Sur telah datang1” Rintihku dan aku memberanikan diri untuk masuk kelas.

Tok!tok!tok

”Assalamualaikum.”

”Kenapa telat?” Tanyanya dengan wajah yang siap memakan mangsa.

”Tadi ban sepeda teman saya bocor!”

”Ya sudah, duduk!”

Akhirnya, aku bisa duduk, meskipun harus berbohong.

”Kok bisa telat sih?” Tanya ilvi

”Tadi aku ngayuh sepedanya nyantai, jadi gini deh!”

”Kenapa tadi bilang bannya bocor?”

”Capek deh vi! Kalau aku jujur, malah nggak boleh masuk! Ya nggak?”

”Iya juga sih! Tapi..”

”Udah ah nggak usah dibahas. Halaman berapa?” Potongku sebelum dia mulai memberiku siraman rohani. Kulihat halaman yang ia buka, lalu aku mulai mengeluarkan peralatan dari dalam tas hitamku.

Teet…teet..

Bel istirahat berdering. Aku mulai membereskan buku. Setelah itu kami bergegas menuju musholla untuk sholat ashar tapi tidak berjamaah. Kami harus cepat karena waktu istirahat yang hanya 15 menit. Setiap siswi diharuskan membawa mukenah sendiri agar tidak saling tunggu.

Setelah itu kami ke kantin untuk membeli makanan. Perutku sudah berontak. Aku memilih unt membeli brownis dan air mineral. Setelah satu per satu dari kami telah mendapatkan apa yang diinginkan, kami kembai menuju kelas.

Teeeettt

Terdengar bel masuk yang nyaring. Kami segera menghabiskan makanan yang masih tersisa, lalu keluar untuk membuang bungkus makanan.

Pelajaran akan dimilai. Tapi entah mengapa bu guru belum juga datang. Tak lama kemudian terdengar panggilan untuk ketua kelas dan bendahara dari maing-masing kelas agar segera menuju ke kantor.

”Memangnya ada apa?” Tanyaku pada Doni, ketua kelas yang bisa dibilang lumayan ganteng! Tak sedikit dari kami yang curi pandang cari perhatian padanya. Bodinya yang tinggi tak terlalu kurus serta kecerdasannya dalam mata pelajaran dan basket  membuat kaum hawa bertekuk lutut. Eits! Aku juga sering curi pandang cari perhatian lho sama dia!

”Aku juga nggak tau!” Jawabnya singkat. Tapi! Ugh! Menurutku ni anak pefect lho! dia segera berlalu dengan Dewanti.

Tak lama kemudia mereka berdua kembali membawa beberapa bungkusan.

Kasak-kusuk segera terdengar

”Apaan tuh?” terdengar suara Debrina dari belakang.

”Iya, apa yah?” sahut yang lain.

”Teman-teman, mohon perhatiannya sebentar!” Ucapnya tegas.

”Ada batuan dari LSM berupa pensil, bulpoin dan penghapus. Saya akan membagikannya sesuai absen” Lanjutnya.

Satu persatu telah dipanggil. Kini giliranku.

”Daris!” Teriaknya.

Aku segera bangkit untuk menghampirinya. Ia menyerahkan peralatan tulis itu dengan cepat. Tanpa berkata apapun. Tapi tetap memberikan senyum manisnya.

Akhirnya semua telah mendapatkan peralatan tulis.

Pak sur memasuki ruangan untuk memulai pelajaran Biplogi. Kali ini membahas masalah Kloning dan Bayi Tabung.

”Semua sudah mendapatkan peralatan tulis?” Tanyanya sebelum memulai pelajaran.

”Sudah Pak!” Jawab kami serentak.

”Saya belum pak!” Cletuk salah satu temanku.

”Belum apanya?”

”Belum buku sama tasnya!”

”Ha…ha…ha…” tawa kami pecah seketika.

”Sudah-sudah!” Henti Pak Sur dengan senyum simpul.

”Coba kalian buka matri selanjutnya. Kloning dan Bayi tabung!” perintahnya sambil berdiri.

”Kalian tahu Kloning?”

”Tidak!”

”Bayi Tabung?”

”Tidak!”

”Saya tahu pak?” jawab Heru, anak di kelasku yang bandelnya minta ampun.

”Ya, Heru. Apa Bayi Tabung itu?”

”Bayi yang dimasukkan dalam tabung pak!” jawabnya PD

”Ha…ha…ha…” Tawa kami pecah

”Ya…ya…ya… itu adalah jawaban dari anak SD!”

”Ha…ha…ha…”

”Coba perhatikan. Pertama saya akan menjelaskan tentang Kloning. Khususnya Kloning Manusia. Kloning adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya pada makhluk hidup tertentu baik berupa tumbuhan, hewan, maupun manusia. Kloning manusia adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya yang berupa manusia. Keturunan ini akan berkode genetik sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel tubuh yang telah ditanamkan pada sel telur perempuan. Sedangkan Bayi Tabung ialah atau Pembuahan In Vitro adalah sebuat teknik pemuahan dimana sel telur (ovum) dibuahi diluar tubuh wanita. Bayi Tabung adalah sebuah metode untuk mengatasi masalah kesuburan kertika metode lainnya tidak berhasil. Prosesnya terdiri dari mengendaikan proses hormonal, pemindahan sel telur dari ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah medium cair!” Dan bla…bla..bla…

”Andai saja aku dapat mengkloning Doni!” Ucapku dalam hati

”Ada pertanyaan?” Lanjut Pak Sur ketika selesai menerangkan. Tapi apa daya, tak satupun dari kami yang bertanya. Pasif sekali.

”Kalian ini diam mengerti apa tidak mengerti sama sekali?”

Kami hanya diam.

”Pak!” Aku dan Dewanti mengacungkan tangan secara bersamaan.

”Saya dulu pak!” Ucapku tak mau kalah.

Aku memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu.

”Apa yang mau ditanyakan ris?”

”Saya mau ijin ke belakang!”

ha…ha…ha…

”Saya kira kamu mau tanya.”

”Nggak pak!”

”Ya sudah. silahkan.”

”Kamu Dewanti, apa yang mau ditanyakan?”

Aku tak tahu apa yang ia tanyakan karena aku sudah tidak tahan menahan sesuatu  yang sudah di ujung tanduk ini.

Dewanti adalah salah satu siswi terpandai di kelasku. Dan dia adalah perempuan yang menurutku beruntung karena Doni memilihnya untuk menjadi ceweknya.

Setelah itu aku kembali ke kelas.

teeettt

Bel istirahat telah berdering.

Waktu terus berlalu. Hingga bel pulang sekolah telah berdering.

Lama-lama aku bosan harus pulang pergi mengayuh sepeda sejauh itu. Tapi untungnya ada truk Armada Militer yang mengantarkan kami sekolah. Setiap pukul 12:30 kami harus sudah berada di pinggir bekas jalan raya tol Gempol-Surabaya menunggu kedatangan truk. Truk itu berjumlah 6 buah. Kami selalu duduk di bangku sebelah Pak Supir agar pak supir tidak perlu lagi membukakan pintu belakang.

Fasilitas di SMPN 1 PORONG memang sangat lengkap, tapi kami murid SMPN 2 PORONG tidak bisa memanfaatkan faslitas itu karena kami hanya menumpang. Ingat! hanya menumpang. Kami tidak bisa bebas dengan segala aktifitas yang kami lakukan karena takut merusak. Para guru juga sering mengingatkan kami agar tidak ceroboh dengan apa yang dilakukan.

Setelah Lumpur mulai menggenagi sekolah, kami tidak pernah melakukan upacara. Hanya apel tiap Sabtu.

Yang aku herankan, kenapa tidak pernah ada bantuan yang kami terima dari pihak Lapindo? Kemanakan mereka? Bagaimana dengan Pemerintah? Tak melihatkah mereka bagaimana kondisi kami kini? Pak Bupati kemanakah anda? Lihatlah rakyatmu yang telah memilihmu! Pak Presiden dan Wakilnya kemanakah keberpihakanmu?

Waktu terus berlalu. Tak terasa Ujuan Nasional (UNAS) telah di depan mata. Hanya tinggal beberapa bulan lagi.

Setiap hari Sabtu diadakan tambahan pelajaran agar siswa-siswi semakin siap meghadapi UNAS. Tapi kegiatan itu tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya karena kami harus menunggu murid SMPN 1 PORONG pulang terlebih dahulu. Terkadang mereka juga ada tambahan pelajaran yang membuat kami tidak bisa mendapatkan tambahan pelajaran karena kelas masih terpkai. Maklum, kami hanya menumpang. Jadi kami harus mengalah jika tak ingin terjadi keributan.

Nasib siswa-siswi SMPN 2 PORONG sungguh diambang kebingungan. Aku sempat bertanya bagaimanakah kami akan melaksanakan Ujian Nasional nanti? Buku penunjang di perpus juga sangat minim karena banyak sekali buku yang tidak bisa diselamatkan kerika lumpur menggenangi sekolah. Dimana kami akan melaksanakan Ujian Nasional nanti?Apakah harus mengungsi lagi?

Esoknya terdengar kabar bahwa murid SMPN 2 PORONG akan melaksanakan Ujian Naional di SMAN 1 PORONG yang letaknya cukup dekat dari SMPN 1 PORONG.

”Kamu tau nggak ris dimana tempat Ujian Nasional kita nanti?” tanya Regina padaku ketika jam istirahat.

”Nggak tuh! Memangnya dimana?”

”Tadi aku sempet dengar dari anak-anak katanya tempat Ujian Nasional kita nanti di SMAN 1 PORONG.”

”Cape deh! Lagi-lagi ngungsi!”

”Iya. Ini semua gara-gara Lapindo. Seterlah rumahku yang tenggelam,  sekolahku, lalu tempat kerja ayahku, dan SDN Renokenongo yang kita pakai untuk Belajar kini juga tenggelam. Selanjutnya apa lagi yang akan diteggelamkan oleh Lumpur Lapindo? Sebel deh!” ucapnya penuh dendam.

”Sabar Gin! Sabar!”

”Sabar-Sabar! Kalau terus-terusan seperti ini siapa yang bisa sabar? Coba kamu jadi aku!”

”Iya! Tapi marahnya janan ke aku dong! Memangnya ini semua ulahku?”

”He…he…he.. maaf yah ris!”

Memang benar kata regina. Sipa yang bisa terus sabar dengan kondisi seperti ini? Mungkin sekarang si pembuat penderitaan belum bisa diadili di dunia. Tapi yang pasti di akhirat nanti mereka semua (si pembuat derita) akan diadili dengan seadil-adilnya.

Lagi-lagi kami harus mengungsi. Mengungsi dan mengungsi. Tapi kami harus tetap bersyukur karena masih bisa melaksanakan Ujian Nasional di gedung sekololah, bukan di bawah terpal yang beralaskan koran.

Akhirnya, Ujian Nasional benar-benar sudah di depan mata. Besok kami akan melaksanakan Ujian Nasional. Kepala Sekolah menghimbau agar kami menjaga kondisi tubuh agar tetap fit sehingga dapat mengikuti Ujian Nasional.

Hari yang ditunggu telah tiba.

aku diantar ayah hingga gerbang SMAN 1 PORONG.

”Hai ris! Masuk yuk!” Ajak ilvi yang telah dulu sampai di sekolah.

”Mana Yusi dan yang lain?”

”Yusi sudah di dalam tapi Vivi dan Vita nggak tau aku. Jam segini kok belum datang. Ya sudah, masuk dulu yuk! Liat-liat!”

”Ayo!”

Kami menyusuri setiap koridor yang ada. Kami bertemu yusi dan vivi di depan kelas.

”Lho vivi! Kok sudah disini?” tanyaku ketika melihat vivi yang sedang duduk di samping yusi sambil membawa buku.

”Aku daru tadi uga sudah disini!”

”Tapi aku nggak liat kamu masuk vi!” tanya Ilvi heran.

”Tadi aku brangkatnya pagi banget. Soalnya takut telat!”

”Cye! Tumbenen nih bawa buku?” ledekku padanya. Karena baru kali ini aku melihatnya menenteng buku.

”Temen berubah di ledekin! Nggak berubah dimarain!”

”tau nih daris!”

”Eh, tadi malam kalian belajar nggak?” tanya yusi melerai keributan kecil yang terjadi.

”Yah belajar lah! Cuma orang gila yang nggak belajar.”

”Kamu vi?”

”vi siapa?”

”vi dua-duanya! Vivi plus ilvi!”

”Aku nggak ditanya nih?” tanya seseorang dari belakang yang ternyata vita.

”Vita! Kok baru datang?”

”iya nih! Tad malam aku belajar sampe malem, jadi bangunnya agak telat.”

”kalau aku belajarnya Cuma 2 jam. Soalnya keburu liat bioskop transTV!” Ucapku cengingisan

”Dasar! Masih sempetnya nonton film!” tangan-tangan jail mereka segera mendarat di tubuhku.

”lho, kan katanya Kepala Sekolah kita harus tetap fit. Jadi nggak perlu ngoyoh!”

”hei!suruh baris!” teriak salah satu anak.

Kami berlari mengikuti arus. Semua telah berbaris rapi. Rupanya ada acara doa bersama yang dipimpin oleh Kepala Sekolah. Kami berdoa penuh khidmat. Tak lama kemudian be berbunyi pertanda ujian akan dimulai.

Dag-dig-dug jantungku. Mungkin bukan hanya aku. Teman-temanku juga pasti merasakan hal yang sama.

Soal ujian dan lemar jawaban telah dibagi oleh pengawas yang sama sekali tak ku kenal. Pengawasnya berjumlah 2 orang.

Penampilannya sungguh menakutkan. Kumis tebal dengan mata yang super waspada.

”Bismillahhirrokhmanirrhim” Ucapku sebelum menyentuh lembar nasib itu.

Pengawasnya tak bisa diam. Selalu saja ada yang diperbuat. Jalan-jalan di sepanjang bangku, matanya menyapu seluruh ruangan. Aduh, bikin tambah takut saja.

Akhirnya aku bisa mengerjakan soal-soal itu dengan sedikit bantuan dari teman-temanku. Dengan kode-kode yang telah kami persipakan, suasana tetap tenang meskipun kami sedang sibuk mencari jawaban.

Akhirnya ada salah satu guru dari SMPN 2 PORONG yang memasuki  ruangan setelah beberapa menit ujian berlangsung. Beliau adalah Pak Sur, The Killer Teacher yang sayang pada muridnya. Ia menebar senyum pada kami semua.

Ia menyerahkan lembaran kertas pada pengawas.

”Bagaimana anak-anak! Lancar?” Tanya Pak Sur seraya melangkah ke arah kami.

Kami hanya bisa tersenyum. Tidak berani mengucapkan sepatah katapun, karena takut mengganggu kelas lain.

”Pak solanya sulit begete!” ucapku lirih ketika Pal Sur lewat.

”Nggak belajar ya?”

aku hanya tersenyum.

”Sukses!” lanjutnya seraya menepuk bahuku pelan.

”Pak pengawasnya galak yah?” Tanya temanku padanya.

”Nggak kok! Perasaan kamu saja mungkin!”

Ia kembali menghampiri pengawas lalu menggambil kembali kertas yang ia serahkan tadi.

”Pak saya nitip anak-anak yah! Jangan terlalu ketat!”

”Siap pak!” jawab para pengawas sambil tertawa kecil.

”Anak-anak jangan terlalu tegang. Kalau ada yang tidak dimengerti jangan takut untuk bertanya pada pengawas!”  Lanjutnya sebelum keluar dari ruangan.

”Waktu mengerjakan soal ujian tinggal 15 menit lagi!” suara dari salon ruangan kami membuat kami tergopoh-gopoh.

”Aduh! Mati aku. Masih banyak yang belum terisi!” ucapku dalam hati ketika melihat lembar jawaban.

”Gimana nih?” Tanya Debrina yang duduk dibelakangku dengan menjawil punggungku.

”Nggak tau deh! Aku juga masih banyak yang belum terisi. Coba lihat punya kamu?”

Ia memperlihatkan lembar jawabannya padaku dengan mata awas takut terlihat pengawas.

”Kasih tau aku nomer berapa saja yang belum!” ucapnya padaku.

Aku berbisik padanya tentang nomer berapa saja yang belum terisi.

Setelah selesai, ku lihat Vivi yang sedang sibuk mengerjakan soal.

”Ehm!Ehm!” Aku mencoba bersuara agar Vivi menoleh kearahku. Tapi usahaku sia-sia. Dia tidak juga menoleh kearahku.

”Vi!” Teriakku pelan.

”Aduh ni anak! Sudah selesai apa belum sih?” Gerutuku.

”Ehm!Ehm!” Kuulangi lagi.

Akhirnya, dia menoleh juga. Aku segera memberi kode-kode padanya.

Kini waktu tersisa 5 menit. Dan Alhamdulillah lembar jawaban telah terisi penuh.

Teeettt….teeettt….teettt

Bel berbunyi pertanda waktu mengerjakan soal ujian telah selesai.

Kami dipersilahkan keluar dari ruangtan sememntara lembar dan soal ujian tetap berada di meja masing-masing.

”Gimana Ujiannya tadi?” Tanya sebagian anak ketika keluar.

”Sukses boo!” ujar yang lain.

Hiruk pikuk segera menyelimuti gedung SMAN 1 PORONG.

Aku dan Vivi segera menemui Ilvi, Vita dan Yusi yang ruangannnya berbeda denganku. Kamipun bertemu.

”Hei!” Teriak kami serentak. Lalu berpelukan. Entah mengapa kami melakukan hal itu, seolah-olah telah berpisah lama  dan menghadapi situasi yang rumit.

”Ampun deh!” ucap Yusi pada kami.

”Apes!” Vita menambahkan.

”Kamu vi?” tanyaku pada Ilvi. Karena hanya dia yang tidak menggerutu.

”Aku! Alhamdulillah!” jawabnya kalem.

”Kok bisa apes?” tanya vivi penasaran.

”Iya. Pengawas di tempatku tidak bisa diam. Ada saja yang dilakukan.” Jawab Vitadengan muka yang terlipat-lipat.

”Apalagi aku! Pengawasnya sok akrab!” ujar Yusi.

”Maksudnya?”

”Pak pengawasnya pake acara nanyain aku lagi!”

ha..ha..ha..

”Tapi kan enak yus! Bisa akrab dengan pengawas!”

”Akrab gundulmu! Malah aku nggak bisa bebas mau tengok sana-sini!”

”Kasian banget!”

”Daris!”

”Sory deh!”

”Aku tadi sempet bingung karena msih ada jawaban yang kosong. Tapi ketika waktu sudah mepet jawaban mengalir terus!” Ucap ilvi kegirangan.

”Kalau di tempat kita tadi lumayan lah! Ya nggak ris?”

”Yupz! Tapi ni anak bikin naik darah aja! Dipanggil nggak juga respon!”

”yee! Orang aku nggak dengar! Salah sendiri kurang keras!”

”Aku udah ehm-ehm, trus panggil nama kamu. Emang kamunya yang dasar tulalit.”

Kami terus bercerita sepanjang perjalanan pulang.

3 hari berturut kami melaksanakan ujian Nasional. Halangan rintangan membentang tak jadi masalah dan tak jadi beban fikiran (seperti lagunya kera sakti saja!) berkat kerjasama kami.

Kini aku tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Pelajaran yang dapat aku ambil dari ujian kali ini adalah kesetiakawanan dan kerjasama yang baik membuat masalah sesulit apapun dapat dihadapi.

Kira-kira 2 minggu setelah ujian kami berkumpul kembali. Kali ini tidak di gedung sekolah, melainkan di gedung Pusdik Bhayangkari. Di tempat itu diadakan Pensi dan di acara itu bapak Kepala Sekolah mengumumkan hasil Ujian Nasional. Terlihat perubahan yang luar biasa pada teman-temanku.

Regina yang dahulu terlihat cuek bebek dengan yang namanya cowok, kali ini dia sudah mengganden cowok yang menurutku ganteng. Postur tubuhnya tidak kalah tinggi dengan regina.

Alisa atau yang biasa aku panggil ola kini terlihat semakin centil. Dan masih banyak lagi perubahan yang terjadi.

Acara dimulai pukul 09:00.

Semua siswa-siswi kelas 3 telah berkumpul. acara siap dimulai.

Setelah berbagai macam hiburan disajikian, kini waktu yang ditunggu-tunggu di depan mata. Bapak Kepala Sekolah akan mengumumkan hasil Ujian Nasional.

”Assalamualaikum Wr. Wb!” Ucap beliau.

”Setelah semua yang kita lewati. Suka suka yang kita hadapi menjadikan hubungan kita terasa semakin dekat. Meskipun sekolah kita SMPN 2 PORONG telah tenggelam oleh Lumpur Lapindo, tapi semangat kita tak lantas tenggelam. Bukti dengan prestasi yang masih dapat kita raih dalam banyak kegiatan. Misanya karate.” pokonya inti dari apa yang ia sampaikan ialah semangat kita dalam belajar ditengah-tengah kondisi yang semerawut. Dan prestasi yang masih bisa kami raih. Setelah cukup lama berceramah akhirnya ia mengatakan

”Siswa-siswi SMPN 2 PORONG dinyatakan lulus! Semuanya!”

”hore!” teriakan kami memenuhi ruangan

”Alhamdulillah!”

”Terimakasih Tuhan!”

”Puji Tuhan!” dan masih banyak lagi.

Kini saatnya memberikan penghargaan kepada setiap murid yang berprestasi.

Mbak mira mendapatkan penghargaan dari setiap lomba karate yang diraihnya. Dari kelasku ada Dewanti dan Suwono, dewanti mendapatkan penghargaan sebagai murid berprestasi dalam mata pelajaran. Sedangkan suwono mendapatkan penghargaan sebagai murid pembuat ulah paling ngetop di SMPN 2 PORONG. Sebenarnya aku agak iri ketika melihat Dewanti mendapatkan penghargaan itu. Tapi aku harus tetap bangga karena aku mempunyai teman yang bisa mengharumkan nama kelasku.

Uniknya, ketika semua murid yang mendapatkan penghargaan di kalungkan medali, Suwono malah mendapatkan kalung yang terbuat dari kerupuk yang memang sdah di desain untuknya.

Sontak semua tertawa melihat kejadian itu. Muka Suwono terlihat merah padam menahan malu.

Acara telah selesai. Kami semua berpamitan kepada seluruh guru SMPN 2 PORONG. Suasana haru menyelimuti gedung Bhayangkari dengan iringan lagu yang dibawakan oleh Bu Nikmah guru Bahasa Indonesiaku. Aku sempat meneteskan air mata. mungkin bukan hanya aku, tapi hampir seluruh siswa-sisi SMPN 2 PORONG. Para guru juga terlihat meneteskan air mata karena harus berpisah dengan siswa-siswinya yang imut, manis, dan cakep. Narsis deh!

Setelah itu kami semua siswa-siswi SMPN 2 PORONG saling berjabat tangan.

”Habis ini mau sekolah dimana ris?” Tanya Regina padaku.

”Pengennya sih di SMAN 1 PORONG. Kamu sendiri?”

”Aku pengen ke SMA TRISAKTI aja.”

”Trus ank-anak geng ijo lainnya?”

”Kami semua rencananya juga sekolah di SMA TRISAKTI. Tapi Anik pengen ke SMA Walisongo.”

”Bener nik?”

”Iya! Biar nggak jauh-jauh!”

”Puput sekarang tinggal dimana?”

Teeettt

Rupanya mereka telah dijemput orang tua masing-masing kecuali Regina.

”Da dulu yah ris, vi, vit, yus. Aku sudah dijemput! Oya, aku minta maaf kalau selama ini aku sering bikin kamu jengkel lala ku!” Pamit Alisa.

”Sama-sama Ola ku. Sudah sana! Ayah kamu sudah nunggu.”

Ia melambaikan tangan pada kami.

”Sampai ketemu. Tapi kapan yah? Ah pokoknya sayonara aja! Aku juga minta maaf kalau selama ini kelakuanku seperti anak-anak dan sering bikin ulah.” Tambah Regina dan diikuti yang lain. Akhirnya kami berpisah.

”Sekarang kita mau kemana?” Tanyaku pada mereka.

”Gimana kalau ke rumahnya Yusi saja?” Usul Vivi penuh semangat.

”Tapi aku sekarang nggak bawa sepeda. Terus siapa yang ngantar?” Ujar Vita

”Nanti kamu sama aku saja. Aku kan di jemput sama ayah. Biar nanti sekalian dianter ke rumahnya Yusi.”

Kami bergegas menuju rumah Yusi. Vivi, Ilvi dan Yusi telah berangkat terlebih dahulu. Sementara aku menunggu ayah yang tak juga datang.

Setelah itu aku dan Yusi pergi ke warung untuk membeli makanan ringan. Kami terus bercerita tentang apa yang akan kita lakukan nanti.

Aku sangat bersyukur mempunyai teman seperti mereka. Dengan karakter yang berbeda-beda kami tetap bisa menjalin sebuah poersahabatan ynag sangat indah selama 3 tahun ini. Tak jarang kami berselisih, tapi karena ada Ilvi yang selalu menjadi penengah kami bisa tetap bersama. Kami sudah menetapkan sekolah pilihan yang berbeda-beda. Kami sempat takut apakah nanti kami masih bisa bertemu dan memiliki teman SMA yang seperti ini lagi? pasalnya sekarang kami tidak tahu lagi dimana mereka tinggal karena rumah meraka sudah tenggelam oleh Lumpur Lapindo.

Ilvi melanjutkan pendidikan di SMK PGRI, Vivi sekolah di Siadoarjo sementara Yusi dan Vita di Prigen. Aku tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi. Tapi aku tidak akan melupakan kalian semua teman-temanku. Ku juga tidak akan pernah melupakan kenangan kita waktu di SMPN 2 PORONG.
Trimakasih Ibu Bapak guru yang telah mendidik kami dengan sabar. Walaupun dengan kondisi yang penuh sesak oleh Lumpur Lapindo.

21 Komentar (+add yours?)

  1. yossy
    Mar 15, 2009 @ 08:29:01

    Ceritanya bagus, kalau SMP-nya tenggelam oleh lumpur lapindo, kegiatan belajar-mengajarnya sekarang di mana non.

    Balas

  2. niken lestari
    Mar 18, 2009 @ 13:39:44

    Jadi selama beberapa bulan kalian mencium bau kentut itu ya? Kejam banget!
    Saya suka ceritanya, seperti feature, tidak sekedar berita. Teruskan menulis supaya orang di luar sana tahu kondisi kalian.

    salam

    Balas

    • catatandaris
      Mar 22, 2009 @ 04:38:00

      makasih, komentnya membuat aku jadi tambah semangat buat ngelajutin karya tulis ku.
      makasih sekali lagi yah
      sory baru bisa balas soalnya aku hanya bisa buka blognya tiap hari minggu aja… itupun gratiss
      🙂

      Balas

      • marsita mustika sari
        Agu 26, 2012 @ 21:01:53

        Aq jg alumni.smp 2 porong…
        aq kangen sama temen2 q dlu. tp kita dah lost contact. bnyak yg sdh pindah rmh. aq bangga… lulusan smp n 2 porong jago bgt jd penulis. smga sukses yach

      • catatandaris
        Sep 01, 2012 @ 13:49:30

        kalau boleh tahu km lulusan angkatan berapa?
        salam kenal.
        Daris

  3. hanum
    Mar 22, 2009 @ 08:18:37

    cerpennya sip..
    tak tunggu tulisan selanjutnya..^-^

    Balas

    • catatandaris
      Apr 23, 2009 @ 03:00:56

      num
      dirimu tak hub kok g bisa seh???????
      minggu sesik q masuk lez!!
      u masuko yawwwwwwwwwwwwwww??????

      Balas

  4. lynda
    Feb 06, 2010 @ 01:54:36

    bagus bgt mbk sy ampek terharu n homorizzz o y mbk q jg nak negri 2 klz 3 n mbk hr minggu curhat di almt email q j pas ciank j q tgu email dr mbk………

    Balas

    • catatandaris
      Feb 15, 2010 @ 08:27:30

      linda sori baru balez..
      aku sekarang kelas 3 SMA
      n skarang aku lagi daftar masuk perguruan tinggi lho…
      doain yah supaya keterima 🙂
      kalo aku keterima nih! ntar temen-temen aku yang di perguruan tinggi tak kasi tau gimana kejahatan lumpur lapindo yang udah neggelamin sekolah kita…
      ocritzzz…

      Balas

  5. lynda
    Feb 07, 2010 @ 02:04:34

    baguz,menarik crita mbk n da di krim k mjlah n koran t? spy smw bs tw mbk….mbk klo leh tw pean ckrng kls brp?n q jg ckrrg nak negri2 kls 3 bsk q hr senin try outke2 lzzzzzzzzzzzzz………….

    Balas

    • catatandaris
      Feb 15, 2010 @ 08:24:50

      sory g bisa langsung bales so q jg ga prnah online……
      hehehe… sesama anak 2 porong kita harus bersatu yah!!!
      usul kamu buat dikirim ke majalah ntar aku pertimbangin yah!!! maksih…
      oya salam ke semua guru smp 2 porong yah…

      Balas

  6. lynda
    Mar 10, 2010 @ 06:10:20

    ocemmmm… o y mbk nm pyn 2 cp….? n smpn2 da jadi loh mbk,pyn dkk g k sit2 t pstiiii gru2 bangga m mbk n td pgi q try out k 4 loch q dredek mbk, mbk pyn tw g pak sur beberapa hari yg lalu skit… ginjalx kenapa git2 q lupa….? tp ckrg allhadullillah ud sembuh lzzzzzzzzzzzzz

    Balas

    • catatandaris
      Mar 11, 2010 @ 08:06:13

      eh sori lagi2 telat….nama q Daris…
      oya salam buat guru2 ja yah!! terutama BU Nur Laila… bilang terimakasih …aku sayang banget sama beliau.
      aq juga try out….
      ndredek,,,, aq juga… kamu punya Facebook g? facebook q Daris ilma
      ok! moga sukses n lulus!

      Balas

  7. lynda
    Mar 12, 2010 @ 04:04:51

    mbk pean g mampir k skul t tw g mbk skuly yg baru mewah (mepet sawah)lho o y mbk pyn tw b.nikma g? qw ska bgt b.nikma beliau klo cerita merasuk k jiwa bgt………. o y mbk daris ud pux pcr lom??????? mbk qw mta no hp pyn po,o ???kn mbk daris cuantuik leh y…… n q g puy fb coz q tkud di culik kn q nakx poloz,alim n pendiam gt2 lzzz

    Balas

    • catatandaris
      Apr 01, 2010 @ 05:41:49

      sebenere seh pengenke skul….
      tp g tw kok g ksampean……
      ehm…..kamu alim… polos…..n pendiam ya……
      sekalian pemikat aja….

      Balas

  8. lynda
    Apr 06, 2010 @ 02:03:56

    hai mbk pa kbr???? bussssssset unasy bkin q dredekkkkk mbk o y q maren pratek kesenian nge cat tmpat smpah o ya mbk q mta no hp pyn po,o……. mbk darizzz kn cntik n baek hati jdi leh yoww lzzzzzzzzzzzzzzzz

    Balas

  9. lynda
    Jul 13, 2010 @ 11:56:48

    haiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii mbk daris mbk qo g d les c? n pa kabaaar ney

    Balas

    • catatandaris
      Jul 14, 2010 @ 02:56:19

      cry qw gag prnah online
      hehehe
      alhamd aqw baik2 aja…..
      km???
      skarang skul dmn??
      uda lulus smp kan?

      Balas

      • lynda
        Agu 08, 2010 @ 10:22:38

        kbr qw baek2 jh n mbk q mta noe pyn poo dri dlu q dk d kcih,,,,,, n alham q lulus n q dftr d skul negri tpi g ktrima,,,, n ckrg q ckul d bhayangkari asyik bgt tryta,,,,, gni jh mbk tk kcih numb q jgn lpa mz y,,,, 087853880348 tk tgu mz pyn ooooookehh,,,,,?

  10. uMy
    Agu 11, 2010 @ 05:50:48

    blog yang bagus…sampai terharu bacanya…siapa yang ngajarin bikin blog?
    btw…kalo boleh tau kuliah di mana sekarang?
    salam kenal yaa 🙂

    Balas

Tinggalkan Balasan ke yossy Batalkan balasan